Di Balik Tawa
Judul
Cerpen Di Balik Tawa
Cerpen Karangan: Dimas Wahyu Abdillah
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 16 October 2016
Cerpen Karangan: Dimas Wahyu Abdillah
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 16 October 2016
“Abdiii!!!” terdengar suara yang sepertinya jauh memanggilku.
Aku menoleh. Terlihat sesosok wanita yang sangat aku kenal memanggilku. Ya,
tidak salah lagi. Itu Fira, Zafira Azzahranama lengkapnya. Aku langsung berlari
ingin memeluknya sebab betapa bahagia aku melihatnya. “Fira? Kemana aja kamu
selama ini, Fir? Aku kangen sama kamu tau gak?” tanyaku. Setelah lama aku
memeluknya dan tidak ada jawaban sepatah katapun darinya, baru aku menyadari
hanya serpihan debu kerinduan yang kupeluk. Gelap pun tiba-tiba datang. Aku tak
dapat melihat apapun sampai akhirnya saat cahaya tiba-tiba menembus mataku dan
menyadarkan aku, “Oh.. hanya mimpi!” seruku seraya menghela nafas.
Pagi telah tiba sejak aku terbangun tadi, lagi-lagi wajah itu
datang lagi mengusik nikmat pagi yang sedang aku rasakan. Fira. Aku masih
melamunkan wajahnya yang tersenyum serta sering kali ada ejekan kecil di sana
seperti menyindirku yang tidak pernah bisa menyatakan perasaanku padanya.
“Heuuhhh.. Fira! Kamu adalah seorang yang aku suka sejak masih SMP hingga kita
berpisah saat lulus SMA. Namun kamu bukan kekasihku, hanya sekedar teman dan
aku tidak tau bagaimana perasaanmu padaku selama itu hingga sekarang.
Mungkinkah kamu juga merinduku?” Sejuta pertanyaan mengusik pikiranku yang sedang
rindu padanya hingga khayalan seolah aku sedang berbicara padanya. Entahlah,
rindu itu menyiksaku.
Hampir setiap malam dan pagi hari tak pernah ada secercah
senyum di wajahku saat aku sendirian di kamar kostku, bahkan hatiku pun
menangis. “Drrrttt drrrttt!” getar hpku mengagetkanku. Tertulis nama Yakin di
layarnya.
“Halo? Slamlekum! Ada apa nih pagi banget udah nelepon aja?” tanyaku sambil dengan malas.
“Lu dimama? Cepetan ke kampus, bentar lagi berangkat seminar nih, Di! Lu gak dengerin kemaren kata Pak Helmi?” cerocosnya.
“Masa sih?” tanyaku bingung.
“Hekhh.. Makanya kalo ada pengumuman perhatiin. Baksos dimajukan soalnya berdekatan sama lebaran!”
“Aduhh, gua lupa. Ya udah, 10 menit lagi. Gua mandi dulu.” jawabku terburu-buru dan langsung matikan teleponnya.
“Halo? Slamlekum! Ada apa nih pagi banget udah nelepon aja?” tanyaku sambil dengan malas.
“Lu dimama? Cepetan ke kampus, bentar lagi berangkat seminar nih, Di! Lu gak dengerin kemaren kata Pak Helmi?” cerocosnya.
“Masa sih?” tanyaku bingung.
“Hekhh.. Makanya kalo ada pengumuman perhatiin. Baksos dimajukan soalnya berdekatan sama lebaran!”
“Aduhh, gua lupa. Ya udah, 10 menit lagi. Gua mandi dulu.” jawabku terburu-buru dan langsung matikan teleponnya.
Suasana di dalam mobil begitu meriah. Meski hanya ada 5 orang
termasuk aku, ketiga temenku itu selalu bisa meramaikan suasana dengan canda
yang mereka keluarkan. Aku pun ikut tertawa bersama mereka. Bram, Anton dan
Yakin.
Saat memasuki ruang seminar, betapa terkejutnya aku melihat
seorang yang selalu ada dalam mimpiku dan aku rindukan. Fira. Aku
menyembunyikan rasa terkejut itu. Untungnya dia tidak melihatku. Entah kenapa
tidak ada keberanianku untuk menyapanya. Aku hanya pura-pura tidak melihatnya
dan bercanda dengan teman-temanku. Sesekali aku meliriknya dengan
sembunyi-sembunyi. Kulihat dia hanya membaca buku. Entahlah apakah Fira masih
mengingatku atau tidak, yang aku ingat dulu kita juga sangat akrab dengan canda
tawanya menghias hari-hariku dengannya.
Seminar telah dimulai. Tidak ada satu pun pendapat yang
keluar dari otakku, mataku hanya pura-pura aku tujukan ke papan dan orang yang
sedang berpendapat, tapi sebenarnya hati tersiksa memendam rasa rindu terhadap
canda tawa dan sapaannya seperti dulu di bangku SMA. Herannya, aku dapati si
Fira juga diam tanpa kata saat itu. Padahal ia tadi sudah baca buku. Mungkinkah
dia juga ingin menyapaku? Hatiku bertanya-tanya.
“Seminar hari ini kita tutup dulu, kita berdiskusi besok dan
lusa. Terima kasih bagi peserta yang hadir hari ini. Wassalamualaikum
warohmatullahi wabarokatu!” tutup salah seorang panitia seminar hari itu.
Hari kedua dan ketiga seminar berjalan sama saja, hanya aku
dan Fira yang diam tak berpendapat sama sekali. Aku selalu memperhatikannya sejak
awal masuk ia membaca buku hingga ke luar ruang seminar ia hanya bersama
seorang temannya di kantin kampus. Aku tidak tau apa dia kuliah di sini atau
mahasiswi undangan.
Sore ini kelompokku akan pulang dari kampus itu dan langsung
diantarkan ke tempat masing-masing tanpa mampir dulu ke kampus. Sebab besok
sudah liburan.
“Ehh, Di! Lu dari pertama masuk seminar kok gak ke luar suara
sama sekali sih?” Yakin memanggilku. Aku hanya menoleh tersadar dari lamunanku
sendiri yang sedang memikirkan cara untuk bilang sampai jumpa di desa sama
Fira.
“Kok bengong?” gertaknya sambil memukul pundakku.
“Gak papa kok. Gak ngerti juga gua.” aku mengelak.
“Alaahhh, boong lu. Pasti lu mikirin sesuatu kan?” selidiknya si Yakin.
“Emm, gua cuman kangen keluarga sama suasana desa, Kin. Udah kebelet pulang nih gua. Heheh, pengen makan tupat ibu gua.” elakku sambil sedikit ketawa.
“Cuman gitu doang sampe gak konsen. Melas banget lu, Di!” balasnya sambil ngeledek.
“Abis mau gimana lagi? Bentar ahh, gua mau ke kantin dulu. Laper. Mau nitip gak?” aku menghentikan obrolan melihat Fira masuk kantin dan mengingat nanti sore aku dah harus pulang.
“Udah makan gua, sana dah kalo laper!” suruhnya sambil nyengir ngeledek seolah ia tau kalo aku mau nemuin cewek kampus ini. Aku tinggalkan dia di losmen.
“Kok bengong?” gertaknya sambil memukul pundakku.
“Gak papa kok. Gak ngerti juga gua.” aku mengelak.
“Alaahhh, boong lu. Pasti lu mikirin sesuatu kan?” selidiknya si Yakin.
“Emm, gua cuman kangen keluarga sama suasana desa, Kin. Udah kebelet pulang nih gua. Heheh, pengen makan tupat ibu gua.” elakku sambil sedikit ketawa.
“Cuman gitu doang sampe gak konsen. Melas banget lu, Di!” balasnya sambil ngeledek.
“Abis mau gimana lagi? Bentar ahh, gua mau ke kantin dulu. Laper. Mau nitip gak?” aku menghentikan obrolan melihat Fira masuk kantin dan mengingat nanti sore aku dah harus pulang.
“Udah makan gua, sana dah kalo laper!” suruhnya sambil nyengir ngeledek seolah ia tau kalo aku mau nemuin cewek kampus ini. Aku tinggalkan dia di losmen.
“Es Teh sama mie instan satu, Pak. Pake nasi dikit ya, Pak.
Tambah cabe juga.” aku pesan makan sama Pak kantin.
“Siap, Dek. Tunggu di meja.” senyumnya ramah.
“Siap, Dek. Tunggu di meja.” senyumnya ramah.
Saat aku duduk dan memperhatikan Fira yang lagi ngobrol sama
temennya sambil makan cemilan kecil di seberang mejaku, aku mendapati mereka
sesekali melihatku. Mungkin lagi ngomongin aku. Aku langsung menundukkan
wajahku sambil menggerutu dengan kesal terhadap diriku sendiri.
“Ck, kenapa gua gak bisa bilang kalo dulu gua sayang dia? Heuuhhh.. Fira!! Seandainya kamu tau kalo aku kangen banget sama kamu dan aku pengen ngomong sekarang kalo aku cinta kamu tapi aku gak berani.” aku menggerutu dengan suara sambil meremas rambutku. Saat aku mengangkat kepalaku tiba-tiba Fira sudah ada di depanku dengan senyum lebar memamerkan giginya yang putih bersih.
“Abdi?” panggilnya.
“Hahah.. Siapa ya? Iya saya Abdi.” aku pura-pura lupa padanya sebab aku takut dia berubah karena dia tidak melihatku sama sekali sejak seminar kemarin.
“Aku denger, Di!” sambungnya. Kulihat matanya sedikit mengkilat menampung air matanya yang coba ia tahan.
“Dasar cowok gak punya hati! Gak peka.” tiba-tiba kata temennya yang duduk di mejanya.
“Dek mienya udah siap.” datang sudah pesananku.
“Iya, Pak. Makasih.” mendengar temennya ikut campur aku pura-makan mie sampe habis.
“Heh, lu denger gak sih? Dia denger apa yang lu omongin sendiri barusan, masih aja lu ngelak. Lu sengaja mau mainin hati Fira ya? Dia sering curhat tentang lu sejak temenan sama gua di sini tau gak? Dia gak pernah nerima cowok-cowok yang nembak dia karena dia nungguin lu. Fira nungguin lu peka sama dia! Ngerti gak lu?” tiba-tiba temennya marah sambil memaki-makiku. Setelah makan, aku lihat Fira masih bertahan.
“Hahaha, diem lu. Paling lu konspirasi sama, Fira kan? Guyonannya lucu ah lu. Hahah” aku menjawab wanita itu dengan tawa dan senyum meledek tidak mempedulikan ocehannya, hanya memandangi mata Fira dan mencoba masuk lebih dalam ke hatinya untuk mencari tau kebenarannya yang aku lakukan. Mendengar perkataanku Fira tak mampu lagi bertahan. Ia menangis merintih menundukkan wajahanya.
“Kamu beneran…” belum sempat ia selesai dengan kalimatnya, aku sudah memeluknya menghentikan ucapannya.
“Aku ingat, Fir. Aku gak lupa. Aku cuman ingin tau perasaanmu.” aku tersenyum bahagia.
“Maafin aku. Aku gak pernah berani bilang perasaanku sama kamu. Mungkin Barusan Tuhan membuat aku tak sadar menggerutu dengan keras sampe kamu denger. Mungkin ini takdirnya. Terima kasih kamu udah buka telinga kamu dengan baik, Fir.” jelasku terhadapnya.
“Apa aku gak mimpi?” dia melepaskan pelukannya dan mencubit lengannya sendiri.
“Auuhh, sakit.” serunya sambil mengusap lengan kirinya bekas cubitannya sendiri. Aku hanya tersenyum dan berdoa semoga ini memang nyata bukan seperti mimpi-mimpiku sebelumnya.
“Aku gak mimpi, Di. Abdi, aku kira kamu gak bakalan datang lagi di hidupku. Soalnya meski kita satu desa, sejak kita pisah kampus kamu jarang menyapaku. Bahkan kita terakhir bertemu sudah 3 tahun yang lalu.” celotenya sambil merengek, tersenyum dan mengelap air matanya.
“Aku… emm.. aku gak mungkin gak kembali, Fir. Aku.. emm.. aku.. a..aku sayang sama kamu, aku suka kamu udah dari jaman kita masih sekelas di SMP sampe kita saling ejek dan becanda di jaman SMA. Kamu inget kan aku suka bilang kamu tuyul karena kamu paling kecil di kelas? Tau gak sebenernya aku udah mulai cinta kamu sejak saat itu. Aku sering mimpiin kamu dan berkhayal tentang masa-masa itu, Fir! Aku gak pernah jatuh cinta sama cewek lain sejak aku jatuh cinta sama kamu.” ungkapku tentang semua perasaanku di balik tawaku tadi di awal pembicaraan.
“Lalu kenapa kamu gak bilang dari dulu? Kenapa kamu bikin aku nunggu? Aku tersiksa tau gak? Kamu gak peka ya! Hemhh!” ia memarahiku tapi ia memelukku dan kembali menangis.
“Aku takut. Aku takut kamu gak ngerasain hal yang sama. Aku juga gak tau ngerangkai kata-kata romantis kyak pria-pria keren buat ngungkapinnya. Aku cuma nutupin semuanya denga canda tawaku saat bersamamu. Maafin aku bikin kamu nunggu.” jelasku lagi.
“Ihh, gak peka sih kamu.” ledeknya sambil tersenyum tersipu malu. Aku pun malu-malu menghadapi keadaan ini.
“Ck, kenapa gua gak bisa bilang kalo dulu gua sayang dia? Heuuhhh.. Fira!! Seandainya kamu tau kalo aku kangen banget sama kamu dan aku pengen ngomong sekarang kalo aku cinta kamu tapi aku gak berani.” aku menggerutu dengan suara sambil meremas rambutku. Saat aku mengangkat kepalaku tiba-tiba Fira sudah ada di depanku dengan senyum lebar memamerkan giginya yang putih bersih.
“Abdi?” panggilnya.
“Hahah.. Siapa ya? Iya saya Abdi.” aku pura-pura lupa padanya sebab aku takut dia berubah karena dia tidak melihatku sama sekali sejak seminar kemarin.
“Aku denger, Di!” sambungnya. Kulihat matanya sedikit mengkilat menampung air matanya yang coba ia tahan.
“Dasar cowok gak punya hati! Gak peka.” tiba-tiba kata temennya yang duduk di mejanya.
“Dek mienya udah siap.” datang sudah pesananku.
“Iya, Pak. Makasih.” mendengar temennya ikut campur aku pura-makan mie sampe habis.
“Heh, lu denger gak sih? Dia denger apa yang lu omongin sendiri barusan, masih aja lu ngelak. Lu sengaja mau mainin hati Fira ya? Dia sering curhat tentang lu sejak temenan sama gua di sini tau gak? Dia gak pernah nerima cowok-cowok yang nembak dia karena dia nungguin lu. Fira nungguin lu peka sama dia! Ngerti gak lu?” tiba-tiba temennya marah sambil memaki-makiku. Setelah makan, aku lihat Fira masih bertahan.
“Hahaha, diem lu. Paling lu konspirasi sama, Fira kan? Guyonannya lucu ah lu. Hahah” aku menjawab wanita itu dengan tawa dan senyum meledek tidak mempedulikan ocehannya, hanya memandangi mata Fira dan mencoba masuk lebih dalam ke hatinya untuk mencari tau kebenarannya yang aku lakukan. Mendengar perkataanku Fira tak mampu lagi bertahan. Ia menangis merintih menundukkan wajahanya.
“Kamu beneran…” belum sempat ia selesai dengan kalimatnya, aku sudah memeluknya menghentikan ucapannya.
“Aku ingat, Fir. Aku gak lupa. Aku cuman ingin tau perasaanmu.” aku tersenyum bahagia.
“Maafin aku. Aku gak pernah berani bilang perasaanku sama kamu. Mungkin Barusan Tuhan membuat aku tak sadar menggerutu dengan keras sampe kamu denger. Mungkin ini takdirnya. Terima kasih kamu udah buka telinga kamu dengan baik, Fir.” jelasku terhadapnya.
“Apa aku gak mimpi?” dia melepaskan pelukannya dan mencubit lengannya sendiri.
“Auuhh, sakit.” serunya sambil mengusap lengan kirinya bekas cubitannya sendiri. Aku hanya tersenyum dan berdoa semoga ini memang nyata bukan seperti mimpi-mimpiku sebelumnya.
“Aku gak mimpi, Di. Abdi, aku kira kamu gak bakalan datang lagi di hidupku. Soalnya meski kita satu desa, sejak kita pisah kampus kamu jarang menyapaku. Bahkan kita terakhir bertemu sudah 3 tahun yang lalu.” celotenya sambil merengek, tersenyum dan mengelap air matanya.
“Aku… emm.. aku gak mungkin gak kembali, Fir. Aku.. emm.. aku.. a..aku sayang sama kamu, aku suka kamu udah dari jaman kita masih sekelas di SMP sampe kita saling ejek dan becanda di jaman SMA. Kamu inget kan aku suka bilang kamu tuyul karena kamu paling kecil di kelas? Tau gak sebenernya aku udah mulai cinta kamu sejak saat itu. Aku sering mimpiin kamu dan berkhayal tentang masa-masa itu, Fir! Aku gak pernah jatuh cinta sama cewek lain sejak aku jatuh cinta sama kamu.” ungkapku tentang semua perasaanku di balik tawaku tadi di awal pembicaraan.
“Lalu kenapa kamu gak bilang dari dulu? Kenapa kamu bikin aku nunggu? Aku tersiksa tau gak? Kamu gak peka ya! Hemhh!” ia memarahiku tapi ia memelukku dan kembali menangis.
“Aku takut. Aku takut kamu gak ngerasain hal yang sama. Aku juga gak tau ngerangkai kata-kata romantis kyak pria-pria keren buat ngungkapinnya. Aku cuma nutupin semuanya denga canda tawaku saat bersamamu. Maafin aku bikin kamu nunggu.” jelasku lagi.
“Ihh, gak peka sih kamu.” ledeknya sambil tersenyum tersipu malu. Aku pun malu-malu menghadapi keadaan ini.
Tak terasa sujah satu jam lebih aku di kantin. Saat ini
keadaan terasa indah dengan rasa malu-malu kita berdua diselimuti bahagia.
Kulihat teman Fira yang baru aku tau namanya Santi itu juga tersenyum melihat
kita.
“Abdi! Udah mau pulang nih. Ayo!” Kudengar suara Yakin memanggilku berjalan menuju ke sini.
“Ahh, si Yakin datangnya gak tepat!” gertuku.
“Kamu udah mau pergi?” tanya Fira agak merengek.
“Ihh, lebay kamu ah. Kan kita sekampung, aku pulang ya, Fira!” ledekku dengan sayang.
“Oh iya. Ya udah lebaran aku ke rumahmu ya. Mau silaturrahmi.” tawanya seraya memelukku.
“Ada-ada aja kamu. Yang ada aku yang harus ke sana. Ya udah aku pulang duluan ya.” pamitku.
“Iya.” jawabnya sambil memelukku lagi sebagai perpisahan. Ia melambaikan tangannya dah aku juga sama. Aku menoleh, kulihat dia saling merangkul dengan temannya.
“Abdi! Udah mau pulang nih. Ayo!” Kudengar suara Yakin memanggilku berjalan menuju ke sini.
“Ahh, si Yakin datangnya gak tepat!” gertuku.
“Kamu udah mau pergi?” tanya Fira agak merengek.
“Ihh, lebay kamu ah. Kan kita sekampung, aku pulang ya, Fira!” ledekku dengan sayang.
“Oh iya. Ya udah lebaran aku ke rumahmu ya. Mau silaturrahmi.” tawanya seraya memelukku.
“Ada-ada aja kamu. Yang ada aku yang harus ke sana. Ya udah aku pulang duluan ya.” pamitku.
“Iya.” jawabnya sambil memelukku lagi sebagai perpisahan. Ia melambaikan tangannya dah aku juga sama. Aku menoleh, kulihat dia saling merangkul dengan temannya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar